Jakarta – Peluncuran Satelit Republik Indonesia atau SATRIA-1 ke angkasa pada Senin (19/6) pagi WIB punya sejumlah fakta penting, mulai dari nilai proyek yang membengkak hingga layanannya yang khusus untuk kantor pemerintah.
“Untuk seluruh rakyat Indonesia, saya mengajak kita bersyukur, alhamdulillah, bahwa Satelit Republik Indonesia-1 atau SATRIA-1 sudah sukses meluncur ke angkasa pada pukul 18.21 waktu Florida Amerika Serikat atau persis jam 05.21 WIB tadi pagi,” kata Pelaksana tugas Menteri Komunikasi dan Informatika Mahfud MD, dalam siaran videonya, di Jakarta, Senin (19/6)
Menurutnya, SATRIA-1 merupakan satelit internet pertama milik Indonesia yang diluncurkan dengan Roket Falcon 9 milik SpaceX dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS).
Berikut sejumlah fakta penting peluncuran satelit SATRIA-1:
Nyaris tanpa insiden
Space Exploration Technologies Corporation (SpaceX) meluncurkan satelit komunikasi ini ke orbit dari Florida pada Minggu (18/6) 18.21 EDT atau Senin (19/6) 05.21 WIB.
Peluncuran SATRIA-1 sempat tertunda 17 menit dari jadwal semula pukul 18.04 waktu setempat atau Senin (19/6) pukul 05:04 WIB. Penundaan penerbangan itu terjadi akibat angin kencang.
Pelepasan tahap II atau melepaskan satelit ke orbit dilakukan pada Senin (19/6) pukul 05.59 WIB. Satelit multifungsi ini akan menempati orbit 146° bujur timur, tepat di atas Pulau Papua.
Roket Falcon 9 kemudian kembali ke Bumi dengan pendaratan roket tanpa cela di laut.
Tak bisa langsung dipakai
SATRIA-1 akan dipantau oleh Thales Alenia Space untuk memastikan seluruh perangkat bisa berfungsi dengan baik.
“Mudah-mudahan semua perangkat yang ada di SATRIA-1 dapat bekerja dengan baik solar cell dan antenanya. Dan bisa terkendali dari stasiun bumi,” tutur Plt Direktur Utama Badan Aksesibiiltas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo Arief Tri Hardiyanto.
CEO PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso menambahkan SATRIA-1 tidak bisa langsung dipakai untuk internetan begitu sampai di orbit. Ia menyebut perlu 145 hari setelah peluncuran buat ragam tes.
“Ini satelit termasuk satelit yang modern sekali sehingga mempergunakan electric propulsion untuk ke orbit dari titik satelit itu dilepaskan oleh peluncur,” jelasnya, Selasa (13/6).
“Itu kita butuhkan 145 hari, maka dari itu dari Juni peluncuran tanggal 19 sampai di tempat orbit itu November, kita akan tes satelitnya dulu dan kita tes seluruh sistemnya sehingga bisa dimanfaatkan kira-kira pada akhir Desember ini dan sudah siap untuk dimanfaatkan layanannya pada Januari,” tutur Adi.
30 ribu titik
Direktur Infrastruktur BAKTI Kominfo Danny Januar Ismawan menyatakan hingga akhir 2023 SATRIA-1 akan melayani 20 sampai 30 ribu titik layanan publik di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Setelah SATRIA-1 mencapai orbit dan uji coba, kapasitas awal 10 Gbps yang tersedia akan digunakan untuk melayani titik layanan publik. Selanjutnya secara bertahap, sesuai rencana dalam tiga tahun ke depan akan digunakan kapasitas hingga sampai 150 Gbps,” tuturnya.
Fokus di kantor pemerintah
Mahfud menjelaskan tujuan peluncuran satelit ini adalah sebagai akselerasi penyediaan internet di kantor-kantor pemerintah di lokasi tak terjangkau jaringan fiber optik dalam 10 tahun ke depan.
“Saya ingin menegaskan tentang fungsi SATRIA-1 ini adalah untuk meratakan akses internet terutama untuk keperluan pendidikan, kesehatan, layanan publik, untuk masyarakat, untuk TNI, untuk Polri di seluruh wilayah tanah air khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terpencil (3T),” ungkapnya, dalam video siaran pers itu.
“Terutama untuk sekolah, rumah sakit, kantor-kantor pemerintah di daerah 3T, dan pos-pos Polri dan TNI di berbagai daerah terpencil, terluar, dan tertinggal,” lanjut Menko Polhukam.
Warga nebeng dengan syarat
Kominfo mengklaim masyarakat umum juga bisa menikmati layanan internet SATRIA-1. Caranya ialah dengan menumpang alias nebeng layanan Wi-Fi di kantor-kantor pemerintahan itu.
“Masyarakat nanti bisa menikmati [layanan internet gratis]. Ini kan dipancarluaskan oleh Wi-Fi, jadi masyarakat mungkin yang mau menggunakan internet bisa saja merapat ke sekolah, ke kantor-kantor TNI, syukur-syukur bisa menjangkau rumah-rumah mereka,” kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Usman Kansong.
Masa pakai 20 tahun
Dengan biaya proyek Rp8 T, Satelit SATRIA-1 punya masa pakai tak lebih dari 20 tahun. Adi Rahman mengatakan satelit itu menjadi sampah antariksa jika sudah melampaui periode penggunaan.
“Jadi semua satelit yang tidak berfungsi akan disimpan di graveyard (kuburan) orbit,” jelasnya.
Ia memprediksi sampah antariksa dari Satelit Satria-1 akan meluncur kembali ke Bumi 100 ribu tahun mendatang. “Mungkin kita sudah tidak akan ada di sini”.
Butuh dukungan darat
Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Mira Tayyiba menjelaskan pihaknya sudah menyiapkan infrastruktur komunikasi pendukung satelit.
Bentuknya berupa stasiun bumi ground segment di 11 lokasi, yakni di Cikarang, Batam, Banjarmasin, Tarakan, Pontianak, Kupang, Ambon, Manado, Manokwari, Timika, dan Jayapura.
“Selanjutnya, pemanfaatan utilitas backbone Palapa Ring adalah sebesar 45 persen dengan Service Level Agreement layanan operasional Palapa Ring sebesar 95 persen,” tandasnya, dikutip dari siaran pers Kominfo.
Tak terkait infrastruktur BAKTI
Meski butuh dukungan infrastruktur darat, Mahfud MD menyebut satelit terbesar pertama di Asia dan kelima di dunia itu tidak terkait dengan jaringan BAKTI yang tengah terkait kasus hukum.
“Saya ingin membantah pendapat yang mengatakan SATRIA-1 tidak ada gunanya karena jaringan di Bumi itu tidak bisa tersedia berhubung adanya kasus BTS 4G yang sekarang ditangani oleh Kejaksaan Agung,” ujar Mahfud dalam sebuah keterangan, Senin (19/6).
Jaringan BTS BAKTI sendiri, berdasarkan sejumlah sampel yang diambil penegak hukum, tak aktif.
Anggaran membengkak
Usman mengatakan biaya investasi pembuatan SATRIA-1 membengkak, dari awalnya US$450 juta atau sekitar Rp6,6 trillun menjadi US$540 juta atau sekitar Rp8 triliun.
Pemicunya adalah perubahan rencana pengangkutan satelit dari Prancis ke Florida. Semula, pengangkutannya hendak memakai Pesawat Antonov. Rencana berubah akibat masalah teknis dan geopolitik global.
“Satelit ini kan dirakit di Thales. Mestinya diangkut (pesawat) Antonov. Karena perang [Rusia-Ukraina] dan mungkin karena rusak, jadi diangkut jalur darat sehingga memerlukan waktu sehingga dananya jadi meningkat,” tutur Usman, pekan lalu.
“Belum lagi harus dah harus dipotong-potong juga (satelitnya),” tandas dia.
(Prasetyo)