Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendengar kabar bahwa ada tiga partai politik yang menerima aliran dana dari kasus korupsi ‘base transceiver station’ (BTS) 4G.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) I Ketut Sumedana mengatakan, penyelidikan yang tengah berjalan belum sampai ke tahap itu.
Sejauh ini, kata dia, tim penyidik belum menemukan indikasi apapun yang menunjukkan keterlibatan partai politik dalam kasus korupsi tersebut.
“Kami fokus dulu terhadap tersangka yang sudah kami tahan, tujuh orang tersangka ya. Lima sudah di tahap dua-kan, penuntut umum, dua masih dalam penyelidikan,“ ungkapnya.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, mengatakan bahwa berkaca dari kasus-kasus korupsi sebelumnya, biasanya penegak hukum hanya menjerat perseorangan dalam kasus korupsi.
Sementara, partai politik yang menerima dana untuk kepentingan partai tidak pernah diberi sanksi.
“Partai adalah badan hukum kan, tapi partai nggak pernah ditangkap. Nggak ada sanksi terhadap partai. Jadi mungkin ini bisa jadi preseden.
“Dalam hal ini, Kejaksaan Agung harus berani untuk memberikan sanksi kepada partai-partai yang menerima aliran dana korupsi itu,“ kata Wawan kepada BBC Indonesia, Rabu (24/5).
Kabar tersebut disampaikan Mahfud MD di acara pelantikan eselon I Kominfo ketika seorang wartawan menanyakan nama-nama partai politik yang terseret dalam kasus korupsi itu.
“Ya, saya juga dapat berita itu, dengan nama-namanya. Tetapi, saya anggap itu gosip politik. Kami bekerja dengan hukum saja,” kata Mahfud, Selasa (23/5).
Mahfud menyatakan bahwa ia sudah melapor ke Presiden Joko Widodo terkait informasi aliran dana ke parpol itu.
“Saya juga sudah lapor soal itu ke presiden, ‘Pak, saya tidak akan masuk ke soal ini’. Ini pembuktiannya akan rumit dan mungkin menimbulkan kemelut politik.
“Oleh sebab itu, saya persilakan kejaksaan atau KPK [untuk mendalami],” lanjut Mahfud.
Sementara, politikus dan Waketum Partai Nasdem, Benny K Harman, dalam cuitannya, Rabu (25/05), mengatakan:
“Apa bener informasi itu pak Mahfud. Sebaiknya kalau informasinya belum jelas jangan dibuka ke publik. Tapi jika benar harus diusut tuntas.”
Benny kemudian bertanya:
“Hanya aku tanya, mengapa melapor ke presiden, why tidak langsung saja melaporkan informasi itu ke KPK atau kepada Kejaksaan Agung?”
‘Kejaksaan Agung harus berani’
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, mengatakan bahwa ditemukannya aliran korupsi yang masuk ke partai politik itu sesuatu hal yang sebenarnya sudah “lazim”. Hanya saja, partai politik tidak pernah dikenakan sanksi.
“Partai adalah badan hukum, tapi partai nggak pernah ditangkap. Nggak ada sanksi terhadap partai. Jadi mungkin ini bisa jadi preseden karena satu, korupsinya sampai dengan Rp8 triliun.
“Artinya bahwa dalam hal ini, Kejaksaan Agung harus berani untuk memberikan sanksi kepada partai-partai yang menerima aliran dana korupsi itu,” ungkap Wawan kepada BBC Indonesia.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020, sebanyak 36% dari kasus-kasus korupsi yang ditangani lembaga antirasuah itu melibatkan lingkaran partai politik (parpol).
“Sebenarnya hari ini yang paling berkuasa itu lembaga partai politik. Karena belum pernah ada itu tersangka dalam bentuk partai politik. Pasti dia petinggi parpolnya, perseorangannya.
“Dan ini sudah berkali-kali presedennya, nggak hanya sekali. Ini harusnya bisa menjadi perhatian bagi penegak hukum,” kata Wawan.
Ia menyebut contoh kasus mantan Partai Demokrat, Anas Urbaniningrum pada 2014 yang divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait mega-proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
“Itu kan sudah jelas aliran dananya ke mana, untuk mencalonkan dia kemenangan kan. Nah ini kita sudah clear. Terus juga Setya Novanto. Itu kan untuk kongres juga kan beberapa. Jadi enggak ada alasan lagi,” tegas Wawan.
Oleh karena itu, ia mendesak agar Kejagung dan pihak-pihak lainnya memiliki keberanian memperkarakan partai politik dalam kasus korupsi. Sebab, selama ini, kasus selalu berakhir dengan vonis perseorangan.
“Artinya bahwa dalam hal ini, Kejaksaan Agung harus berani untuk memberikan sanksi kepada partai-partai yang menerima aliran dana korupsi itu,” ungkap Wawan.
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Chairul Huda, tidak yakin Kejagung berani menjerat partai-partai politik yang diindikasikan Mahfud MD.
“Kemungkinannya partai yang untuk dimintai tanggung jawab hukum sendiri atas hal ini kecil. Yang mungkin adalah oknum-oknumnya,” ungkap Chairul.
Ia mengatakan, kalaupun ada partai-partai yang menerima suntikan dana dari korupsi bernilai Rp8 triliun itu, mereka merupakan “partai politik penguasa”.
“Partai-partai politik yang mendukung pemerintahan sekarang. Kalau kejaksaan tidak di-back up oleh publik melalui mulutnya Mahfud, maka Kejaksaan bisa kemudian berjalan tidak sebagaimana mestinya penyelidikannya,” katanya.
Walaupun Mahfud mengeklaim ‘tidak mau ikut campur’ dan akan menyerahkan penyelesaian kasus itu kepada pihak yang berwenang, menurut Chairul Mahfud, itu tanda ia sudah mengintervensi dengan mengeluarkan pernyataan.
“Jadi apa yang disampaikan Mahfud adalah bentuk campur tangan ‘pemerintah’ terhadap penegakan hukum supaya ini berjalan sesuai dengan koridor yang seharusnya,” sebut Chairul.
Apakah partai politik bisa dibubarkan atas penerimaan dana hasil korupsi?
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, mengatakan partai politik merupakan lembaga hukum yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab sendiri -salah satunya pencegahan korupsi.
Oleh karena itu, partai politik sebenarnya bisa dijerat hukum.
“Karena parpol itu ditentukan sebagai bagian hukum oleh sekelompok orang. Sekelompok dalam hal ini orang adalah warga negara Indonesia.
Jadi dia punya kewajiban juga gitu ya, disambungkan dengan pasal satu yang mengundang tipikor kita,” ujar Wawan.
Ia mengambil contoh kasus korupsi PLTU 1 Riau oleh Sekjen Partai Golkar Eni Maulani pada 2018.
Meskipun, Partai Golkar telah mengembalikan Rp700 juta dari dana hasil korupsi dalam kasus Eni Maulani, menurut Wawan tindakan itu belum cukup untuk menghilangkan sanksi pidana.
“Iya dikembalikan, tapi pidananya tetap jalan dong. Pindahnya itu membuktikan apa sih? Untuk membuktikan bahwa bersalah, dan kemudian dihukum, dikenai sanksi. Jadi kan partai-nya nggak pernah disentuh,” kata Wawan.
Bahkan, lanjut Wawan, hukuman untuk keterlibatan partai politik dalam korupsi bisa berujung pada pembubaran partai.
“Jadi partai itu dibekukan, terus kemudian dibubarkan. Bahkan ketika dibekukan itu juga tidak boleh mengikuti kontestasi dalam bentuk apapun. Apapun itu, Pemilu sampai dengan Pilkada, tungkasnya.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 tahun 2008, sebuah partai bisa dibubarkan jika kegiatannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Ada itu, mengatur bahwa partai politik bisa dibubarkan dan bahkan dilarang dalam kegiatan politik. Itu terutama ketika terjerat tindakan korupsi.
“Semua parpol pasti kena, tapi nyata-nya nggak akan ada. Jadi undang-undangnya hanya berdiri di undang-undang,” ungkap Wawan.
Apa reaksi Kejagung terhadap informasi tersebut?
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) I Ketut Sumedana menyatakan bahwa ia belum mendengar kabar mengenai dugaan adanya tiga partai politik yang menerima aliran dana dari kasus korupsi BTS.
“Yang kedua, kami belum sampai sejauh itu. Kami fokus dulu terhadap tersangka yang sudah kami tahan tujuh orang tersangka. Lima sudah di tahap dua-kan penuntut umum, dua masih masih dalam penyelidikan.
“Jadi jangan dibawa ke mana-mana kasusnya. Kita fokus dulu ke tujuh tersangka yang sudah kita berkas perkaranya,” kata Ketut kepada BBC Indonesia, Rabu (24/5).
Ia mengatakan bahwa saat ini, tim penyidik masih melaksanakan pendalaman hukum dan belum menemukan indikasi apapun yang mengarah pada keterlibatan partai politik.
”Kita masih pendalaman hukum, murni penegakan hukum. Jangan dibawa ke mana-mana. [Jika ada] parpol pun yang terkait dengan ini, kita tetap melakukan suatu proses asset tracing,“ ujar Ketut.
Saat ini, Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka.
Selain Johnny G. Plate, ada pula Anang Achmad Latif, Direktur Utama Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika; Galubang Menak, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia dan Yohan Suryanto, Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia Tahun 2020.
Kemudian, Mukti Ali, Account Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment; Irwan Hermawan, Komisaris PT Solitech Media Sinergy dan Windi Purnama, pihak swasta sekaligus orang kepercayaan tersangka Irwan Hermawan.
Seperti apa respon Partai Nasdem?
Politikus dan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman, dalam cuitannya, Rabu (25/05/2023), mengatakan:
“Apa bener informasi itu pak Mahfud. Sebaiknya kalau informasinya belum jelas jangan dibuka ke publik. Tapi jika benar harus diusut tuntas.”
Benny kemudian bertanya:
“Hanya aku tanya, mengapa melapor ke presiden, why tidak langsung saja melaporkan informasi itu ke KPK atau kepada Kejaksaan Agung?”
Mahfud kemudian menjawabnya.
“Info itu tidak akurat, Pak Benny. Saya tak pernah menyebut nama parpol. Saya ditanya oleh wartawan yang menyebut nama beberapa parpol menerima aliran dana. Saya jawab bahwa saya mendengar info itu tapi bagi saya itu hanya gosip politik,” jelasnya.
Terlepas soal informasi yang menyebut tentang soal aliran dana ke parpol itu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menegaskan dan tetap berkeyakinan kadernya, Johnny G. Plate tidak bersalah.
Menurutnya, bagaimanapun dalam kasus korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G, azas praduga tidak bersalah harus dikedepankan.
“Kita garis bawahi karena bagimanapun juga kalau azas praduga tidak bersalah itu tidak kita tempatkan sebagai basis pemahaman kita, rusak itu,” kata Surya Paloh di Kantor DPW NasDem Babel, Minggu (21/05/2023).
Ia mengatakan pihaknya “menghormati proses hukum” yang berjalan dan menunjuk Hermawi Taslim sebagai pelasana tugas Sekjen Nasdem, menggantikan Plate.
Terkait isu intervensi politik dalam penetapan Plate sebagai tersangka, Surya Paloh berharap hal itu “tidak benar”.
“Semoga saja godaan-godaan yang menyatakan pada saya (penetapan status tersangka) ini tidak terlepas daripada intervensi politik, tidak benar, ini tidak terlepas daripada intervensi kekuasaan, juga tidak benar.
Ini godaan pada diri saya dan saya sudah katakan tidak benar itu,” kata Surya Paloh di hadapan wartawan pada .
“Kalau benar mungkin hukum alam nanti, dia akan dihadapkan kepada itu.”
Bagaimanapun, Surya Paloh meminta pihak berwenang melakukan “pendalaman” dalam kasus ini.
Dia menyebut dugaan korupsi proyek, yang merugikan negara sebesar Rp8 triliun, “dalam kapasitas dirinya (Plate) sebagai menteri, (karena) sebagai sekjen partai, terlalu mahal.”
“Ya, kalau tidak ada pendalaman lebih untuk menemukan bukti-bukti yang lebih memberatkan, ya semakin sedih lagi kita,” ujarnya.
Menkominfo ditetapkan sebagai tersangka
Kejaksaan Agung resmi menahan Menkominfo, Johnny Gerald Plate, pada Rabu (17/05/2023), setelah menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Johnny dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kominfo tahun 2020-2022.
“Satu orang sudah ditetapkan sebagai tersangka seperti yang Anda saksikan tadi dan langsung dilakukan penahanan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, I Ketut Sumedana, dalam jumpa pers di jakarta, Rabu (17/05/2023).
“Telah terdapat cukup bukti bahwa yang bersangkutan [Johnny G Plate] diduga terlibat di dalam peristiwa tindak pidana korupsi pembangunan BTS 4G,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi.
Johnny G Plate dinyatakan sebagai tersangka terkait wewenangnya sebagai pengguna anggaran dan posisinya sebagai menteri.
“Tentunya selaku pengguna anggaran dan selaku menteri,” kata Kuntadi.
Sejumlah media melaporkan, Plate meninggalkan ruangan pemeriksaan dengan mengenakan rompi baju warna merah muda tahanan Kejagung. (Jefri Candra)