Beberapa hari belakangan kita dibombardir oleh berita sejumlah kasus kekerasan yang dilakukan remaja, baik kekerasan fisik, verbal, maupun seksual, yang berakibat pada trauma, stigma, sampai kematian pada korban yang umumnya juga remaja.
Kekerasan antarremaja ini sering disebut sebagai peer to peer violence dan bullying.
Data kekerasan antarremaja sulit didapatkan karena umumnya penelitian yang ada tentang kekerasan remaja dan anak-anak sebagai korban. Bukan remaja sebagai pelaku.
Hal ini didukung Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan utama untuk melindungi anak sebagai korban.
Laman Kompas.tv, 24 Februari, menyebutkan, setidaknya ada tujuh kasus kekerasan yang dilakukan remaja menjadi viral di media sosial. Baik pelaku maupun korbannya tak pandang jenis kelamin, usia korban umumnya sebaya, dan alasan melakukan tindak kekerasan adalah emosi, marah ataupun cemburu. Ada pula kekerasan yang dilakukan untuk menunjukkan dominasi mereka atas individu ataupun kelompok lain.
Berita yang paling baru adalah kekerasan yang dilakukan oleh putra seorang pejabat tajir melintir di negeri ini. Media sosial tidak hanya mengulas tindakan kekerasannya, tapi juga perilakunya yang suka pamer kemewahan serta sikapnya yang tidak menunjukkan rasa bersalah saat diliput media massa.
Psikososial remaja: ”storm and stress”
Pada kekerasan yang dilakukan oleh remaja secara berkelompok, jika targetnya adalah individu, mereka melakukan pengeroyokan yang tidak berimbang sehingga korban menjadi bulan-bulanan para pelaku. Jika targetnya adalah kelompok, kedua kelompok saling menyerang dalam bentuk tawuran.
Di Yogyakarta, kita sudah mendengar istilah klitih, yakni serombongan remaja dengan berkendara sepeda motor dengan membawa senjata tajam melukai remaja lain, baik individu maupun kelompok, tanpa alasan jelas.
Berita kekerasan antarremaja sampai pada tindak kriminal sering membuat orang dewasa geleng-geleng kepala karena tidak pernah terpikir bahwa remaja mampu melakukan tindakan keji dan sadis. Ada apa dengan remaja kita?
Merujuk tahapan perkembangan psikososial yang dirumuskan Erik Erikson, remaja ada pada usia sekitar 12-18 tahun. Pada masa ini mereka mengalami krisis identitas diri. Secara fisik ia memasuki masa akil balig yang membuatnya merasa kurang nyaman dengan perubahan fisiknya yang menjadi seperti orang dewasa, tetapi secara mental masih belia.
Spanduk tentang keprihatinan akan maraknya aksi klitih (kekerasan pelajar) dipasang di kawasan Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta, Kamis (16/3/2017). Kekerasan yg melibatkan remaja di DI Yogyakarta menunjukkan tren kenaikan dengan mayoritas pelaku yang terlibat adalah remaja yg bermasalah di sekolah dan keluarga.
Perubahan hormon menuju kedewasaan dan mulai tumbuhnya rasa romantis pada lawan jenis menimbulkan kegelisahan pada remaja. Ditambah lagi dengan perubahan lingkungan karena harus pindah sekolah dari SLTP ke SLTA, dari SLTA ke perguruan tinggi.
Pergolakan batin ini oleh psikolog anak dari Amerika, Stanley Hall, disebut sebagai masa storm and stress, yang bisa berakibat pada terjadinya konflik dengan orangtua dan teman sebaya.
Pada masa remaja, penerimaan dan pengakuan teman-teman sebaya berpengaruh besar dalam pembentukan identitasnya. Apabila nilai-nilai yang dipegang oleh teman sebaya berbeda dari nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua, remaja berpotensi mengikuti nilai-nilai baru dari teman-temannya demi untuk bisa menjadi bagian dari kelompok.
Apabila ia berada dalam kelompok sebaya yang mempunyai nilai-nilai luhur, remaja mampu menumbuhkan rasa kesetiaan dan ketaatan. Sebaliknya, jika ia berada di kelompok yang salah, remaja akan mengalami kebingungan dalam peran sosialnya (role confusion). Ia tidak yakin bagaimana bisa diterima oleh lingkungannya.
Orangtua punya kewajiban sosial dan moral untuk membimbing anak-anaknya menjadi manusia berguna dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan.
Pendidikan dalam keluarga, harga mati
Sebetulnya berada di kelompok yang salah tak selalu membuat remaja ikut-ikutan dalam perilaku tidak benar kalau ia memiliki bekal nilai-nilai etika dan kehidupan yang diberikan oleh orangtuanya. Ia mampu menyadari berada di tempat yang salah dan segera memutuskan keluar dari pergaulan itu.
Pepatah mengatakan, pergaulan yang buruk mampu merusak kebiasaan yang baik. Dan kebiasaan baik ini umumnya ditanamkan orangtua sejak anak masih belia. Orangtua punya banyak kesempatan untuk memberi nilai-nilai luhur kehidupan kepada anaknya.
Orangtua punya kewajiban sosial dan moral untuk membimbing anak-anaknya menjadi manusia berguna dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ini biasanya dilakukan sebelum anak memasuki masa akil balig karena anak menghabiskan banyak waktunya di rumah dan hanya beberapa jam saja di sekolah.
Sayang sekali, tidak semua orangtua melakukan amanah mulia ini dan memanfaatkan masa-masa kebersamaan tersebut secara optimal. Alasan klasiknya, tidak punya waktu, tidak menyadari pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, sadar tetapi tidak merasa kompeten, atau merasa bahwa sekolah adalah pihak yang paling kompeten memberikan bekal tersebut.
Padahal, masa sebelum akil balig adalah kesempatan emas orangtua menanamkan nilai-nilai moral dan etika.
Para tersangka yang menjadi pelaku pembegalan dan kekerasan antargeng motor dihadirkan saat pengungkapan kasus oleh Subdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (25/10/2015). Para tersangka yang masih berusia remaja tersebut melakukan tindak kejahatan perampasan sepeda motor di wilayah Depok.
Institusi pendidikan: demi nama baik
Orangtua tak bisa mengandalkan sekolah untuk menanamkan nilai-nilai itu karena perhatian sekolah lebih pada membekali peserta didik dengan sejumlah kecakapan dan ilmu pengetahuan.
Apalagi, sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih berorientasi pada ranking. Jika terjadi kekerasan yang dilakukan peserta didik, hal tersebut dianggap berpotensi merusak nama baik sekolah sehingga peserta didik diminta mengundurkan diri—bahasa halus mengeluarkannya dari sekolah. Apabila sebuah institusi pendidikan mengeluarkan peserta didik yang melakukan kekerasan, marwah dari tujuan pendidikan itu sendiri jadi tidak jelas.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (1) menyatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Pendidikan itu sendiri bisa diajarkan dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan formal di institusi pendidikan formal. Kedua, pendidikan nonformal diselenggarakan organisasi di luar institusi pendidikan formal. Dan ketiga, pendidikan informal yang diajarkan dari dalam keluarga dan masyarakat. Ayat (3) pasal yang sama menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional mempunyai karakteristik meningkatkan akhlak mulia.
Berita kekerasan antarremaja yang berulang kali muncul dalam media sosial akhir-akhir ini bisa jadi merupakan tanda awal kegagalan pendidikan dalam keluarga dan institusi pendidikan. Kasus-kasus tersebut memang tidak bisa digeneralisasikan, tetapi penting untuk dicari duduk masalahnya dan solusinya.
Presiden Joko Widodo telah menegaskan perlunya peningkatan kualitas SDM Indonesia dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Maka, pendidikan nilai-nilai luhur di dalam keluarga merupakan sebuah keniscayaan.
Eunike Sri Tyas Suci,Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya