Bisnis Warunk Upnormal Mulai Berguguran, Apa Penyebabnya?

Jakarta – Warunk Upnormal yang dulunya terkenal sebagi tempat nongkrong anak muda, kini mulai sepi pengunjung. Bahkan, banyak gerai Upnormal yang akhirnya tutup.

Channel Youtube Bennix yang banyak mengulas tentang dunia saham menganalisa tujuh penyebab runtuhnya bisnis Upnormal. Apa saja?

Faktor Harga
Bennix menyebut faktor harga menjadi salah satu biang keladi hancurnya Warunk Upnormal. Saat baru dibuka, cukup dengan uang Rp 50.000, bisa untuk makan lebih dari satu orang. Harga mi goreng atau mi rebus saat itu hanya sekitar Rp 18.000-an. Namun saat ini harga makanan di Warunk Upnormal tidak lagi terjangkau. Uang Rp 50.000 berasa tidak lagi cukup untuk satu orang. Harga yang mahal juga diperparah dengan cita rasanya yang dinilai tidak lagi seenak dulu.

“Masalah pertama dari produknya. Rasanya tidak enak dan yang kedua harganya mahal,” ungkap Bennix.

Ekspansi Terlalu Cepat
Pada tahun 2019, Warunk Upnormal mengoperasikan sebanyak 85 gerai yang tersebar di 20 kota di Indonesia. Ekspansi yang terlalu cepat ini dinilai Bennix sangat berbahaya. Pasalnya butuh modal tempat dan juga renovasi gerai yang tidak murah. Apalagi lokasi yang dimiliki Warunk Upnormal cukup strategis.

Segmentasi Pasar
Warunk Upnormal memiliki segmen pasar anak-anak muda dengan range usia 15-25 tahun. Masalah timbul ketika Upnormal mulai menaikkan harga makanannya. Segmen pasarnya yang kebanyakan masih sekolah dan kuliah akhirnya mulai berpikir untuk mencoba di tempat lain yang harganya lebih terjangkau.

Pemberlakuan PSBB
Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) juga ikut mempengaruhi bisnis Warunk Upnormal. Tidak hanya Upnormal, banyak bisnis kuliner yang babak belur lantaran sempat ada kebijakan tidak boleh makan di tempat. Padahal Upnormal selama ini berbisnis experience, jadi harus makan di tempat.

Kemewahan
Warunk Upnormal selalu berada di lokasi yang strategis dengan desain arsitektur bangunan yang mewah. Bahkan di beberapa tempat juga disediakan alat-alat untuk bermain gim. Padahal semua itu membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga berakibat pada pelayanan yang diberikan.

“Ketika sebuah bisnis baru lahir, langsung keluarin budget untuk desain interior sedemikian mahal, budget untuk sewa tempat sedemikian mahal, sementara makanan yang dijual adalah indomie, telur, kornet, kapan akan balik modal? Sehingga jangan heran kalau banyak mitra (investor) dari Upnormal yang tidak happy,” kata Bennix.

Service
Ekspansi Upnormal saat mulai berdiri dinilai terlalu cepat, bahkan langsung hadir di 20 kota. Sementara dari sisi logistik, supply change, dan employment trainingnya belum tentu siap. Kondisi ini membuat service dan layanan yang ada di gerai-gerai Upnormal menjadi tidak seragam dan memengaruhi penilaian pelanggannya.

Manajemen Internal
Manajemen yang ada di internal Upnormal pendekatannya dinilai terlalu top down, tidak mau mendengarkan masalah yang terjadi di lapangan dan masalah-masalah yang terjadi di franchise-nya.

Upnormal dinilai gagal mendengarkan informasi-informasi dari bawah, contohnya dari sisi penerapan menu. Bila data menunjukkan salah satu produknya jelek dan harus di-take out, maka akan langsung ditarik secara nasional. Padahal sebetulnya produk tersebut masih laku di kota-kota tertentu.

(Nanda Kharisma)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *