Pegawai Pemkot Bekasi Anti Korupsi, Bisa?

HELATAN peringatan hari anti korupsi sedunia di arena Car Free Day (CFD) yang di gagas Pemerintan Kota Bekasi berjalan cukup meriah. Acara ini melibatkan berbagai stakeholder, Selain dihadiri oleh Wali Kota Bekasi Dr Rahmat Effendi, Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto, Pj Sekda Kota Bekasi Widodo Indrijantoro, Kapolresta Metro Bekasi Kota, DANDIM 05/07, Kepala Kajari Kota Bekasi, Ketua DPRD Kota Bekasi Tumai SE, kegiatan ini juga melibatkan ketua KPK, Agus Rahardjo dan koordinator divisi korupsi ICW, Donal Fariz.

Para tokoh yang hadir tentunya bicara mengenai semangat anti korupsi. Apa yang disampaikan oleh Donal Fariz, koordinator divisi korupsi ICW misalnya, perilaku korupsi dianggap dapat merusak seluruh sendi pembangunan Indonesia. Karena itu pula, Donal Fariz mengajak keterlibatan seluruh elemen masyarakat untuk melakukan pengawasan partisipatif dalam hal pencegahan korupsi. Dia menyebut istilah ‘collaborative engagement’.

Mengapa demikian? Karena perkara korupsi bukan hanya tugas KPK. Bukan pula tugas Kajari semata. Juga bukan tugas LSM seperti halnya ICW, GERAK, dan gerakan anti korupsi lainnya dari lembaga-lembaga mandiri yang independen. Tidak juga tugas kepolisian secara ekslusif. Mencegah praktik korupsi bahkan melaporkan potensi korupsi merupakan tugas seluruh elemen masyarakat.

“Karena uang yang dikelola oleh pemerintah baik APBN dan APBD adalah milik seluruh masyarakat Indonesia.,” ungkapnya

Disektor pemerintahan, ketua KPK Agus Rahardjo memberikan penekanan yang lebih besar. Katanya, pegawai pemerintah memiliki peluang korupsi yang sangat tinggi. Tak heran pulalah di banyak penangkapan kasus korupsi, KPK sampai menyasar oknum-oknum pegawai biasa. Keterlibatan pegawai biasa ini tentunya membuka diskursus yang panjang tentang bagaimana korupsi terjadi secara masif mulai dari elit sampai grass root. Diakui Agus, memang tak mudah berperang dengan perilaku korupsi. Namun bekerja dengan pendekatan taat aturan diyakininya akan mencegah praktik tersebut.

Agus pun atas nama KPK mengenalkan produk pengaduan informasi korupsi kepada warga Bekasi yang hadir di arena Car Free Day. Adalah Whistle Blowing System (WBS) namanya. “Aplikasi tersebut dibangun dengan harapan warga dapat berpartisipasi secara aktif. WBS disiapkan untuk memproses pengaduan dan pemberian informasi baik langsung maupun tidak terkait pelanggaran undang-undang, etika dan kode etik pejabat pemerintahan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut praktik KKN dan kepentingan publik lainnya.,” ujarnya.

Hal senada, Walikota Bekasi, Dr Rahmat Effendi mengamini apa yang disampaikan oleh Donal Fariz dan Agus Rahardjo. Partisipasi masyarakat dan ketaatan hukum dari pejabat pemerintahan adalah hal dasar yang sangat dibutuhkan untuk melanjutkan pembangunan kota Bekasi yang cerdas, kreatif, maju, sejahtera, dan ihsan.  Di sektor pembangunan ekonomi dan infrastruktur misalnya, kepastian dan perlindungan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga stabilitas investasi. “Jauh dari praktik korupsi dinilai Rahmat Effendi sebagai salah satu upaya untuk memastikan keberlanjutan pembangunan. Sebaliknya dekat dengan korupsi, dekat pula dengan kehancuran kota Bekasi.” ucapnya.

“Saya menilai penting bagi seluruh pegawai pemerintahan untuk memahami korupsi secara universal. Jack Bologne (1993) melalui bukunya yang berjudul,” The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime” mengenalkan Teori ‘GONE’ untuk menjelaskan mengapa praktik korupsi terjadi.” sambungnya.

Apa itu GONE? GONE adalah singkatan dari empat suku kata yakni Greed (ketamakan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan).

Tak dapat disangkali, manusia penuh dengan sifat tamak. Ada saja ambisi untuk mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan norma-norma yang ada. Hal itu diperkuat lagi oleh adanya kesempatan untuk menipu, untuk menilep uang yang bukan haknya. Walau sebagian karena adanya need (kebutuhan) yang bersifat penting, tapi banyak juga karena perilaku ingin memperkaya diri dengan cara praktis. Sayangnya dikarenakan proses pengungkapan hukum (exposure) yang tidak berujung pada upaya memberi efek jera, praktik korupsi terjadi secara simultan dan masif.

Maka untuk mengontrol perilaku tersebut, para pegawai perlu menyepakati standar etika yang dipakai sebagai rujukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Adapun nilai-nilai dasar standar etika tersebut yakni religiusitas, integritas, sinergitas, keadilan, profesionalitas, dan leadership (kepemimpinan). Kerangka nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan dengan lebih detail dan diformalkan sehingga menghasilkan sebuah aturan untuk mengontrol satu sama lainnya.

“Penting juga dibumbui dengan pendekatan punishment dan reward sebagai alat motivasi untuk mewujudkan pegawai dengan mindset anti korupsi.” kata dia.

Tentu saja apa yang ditulis di atas sesungguhnya adalah bahan introspeksi bagi saya sendiri. Bahwa penting bagi saya memahami praktik korupsi dengan semangat memerangi korupsi itu sendiri. Seperti halnya keinginan Walikota Bekasi, Dr Rahmat Effendi, saya juga tidak menginginkan pembangunan di kota kita ini terhambat gara-gara adanya masalah hukum. Bekasi jauh sudah berbenah. Kita bukan lagi penyangga Jakarta. Bekasi adalah kota tujuan.

“Jangan sampai gara-gara setitik korupsi, rusak Kota Bekasi semuanya. Mari memperbaiki niat untuk membangun bekasi tanpa korupsi mulai dari kita sendiri.” tutup nya (dej)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *